Sesungguhnya generasi paling mulia adalah generasi Nabi dan para sahabatnya, kemudian dua generasi yang mengikutinya, tidak dapat dipungkiri karena hal itu memang sudah tertera dalam hadits Nabi yang tidak jarang pula kita menyimaknya “Sebaik-baik umat manusia adalah
generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan
kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq
‘alaih).
berikut ini sekelumit dari cara bersikap dan interaksi para Salaf (Generasi/Ulama Terdahulu) yang menggambarkan kecerdasan dalam bersikap, santun dalam berbicara, dan zuhud dalam kehidupan.
Salaf dan Keikhlasan
Generasi salaf adalah generasi yang sangat menjaga aktifitas hati. Seorang
lelaki pernah bertanya kepada Tamim Ad-Daari tentang shalat malam beliau.
Dengan marah ia berkata: “Demi Allah satu rakaat yang kukerjakan di tengah
malam secara tersembunyi, lebih kusukai daripada shalat semalam suntuk kemudian
pagi harinya kuceritakan kepada orang-orang!”
Ar-Rabi` bin Khaitsam berkata: “Seluruh perbuatan yang tidak diniatkan
mencari ridha Allah, maka perbuatan itu akan rusak!”
Mereka tahu bahwa hanya dengan keikhlasan, manusia akan mengikuti,
mendengarkan dan mencintai mereka. Imam Mujahid pernah berkata: “Apabila
seorang hamba menghadapkan hatinya kepada Allah, maka Allah akan menghadapkan
hati manusia kepadanya.”
Dan telah diketahui, menjaga amalan hati amatlah berat karena diri seakan-akan
tidak mendapat bagian apapun darinya. Sahal bin Abdullah berkata: “Tidak ada
satu perkara yang lebih berat atas jiwa daripada niat ikhlas, karena ia
(seakan-akan -red.) tidak mendapat bagian apapun darinya.”
Sehingga Abu Sulaiman Ad-darani berkata:” Beruntunglah bagi orang yang
mengayunkan kaki selangkah, dia tidak mengharapkan kecuali mengharap ridha
Allah!
Mereka juga sangat menjauhkan diri dari sifat-sifat yang dapat merusak
keikhlasan, seperti gila popularitas, gila kedudukan, suka dipuji dan
diangkat-angkat.
Ayyub As-Sikhtiyaani berkata: “Seorang hamba tidak dikatakan berlaku jujur
jika ia masih suka popularitas.” Yahya bin Muadz berkata: “Tidak akan beruntung
orang yang memiliki sifat gila kedudukan.” Abu Utsman Sa`id bin Al-Haddad
berkata: “Tidak ada perkara yang memalingkan seseorang dari Allah melebihi gila
pujian dan gila sanjungan.”
Oleh karena itulah ulama salaf sangat mewasiatkan keikhlasan niat kepada
murid-muridnya. Ar-Rabi` bin Shabih menuturkan: Suatu ketika, kami hadir dalam
majelis Al-Hasan Al-Bashri, kala itu beliau tengah memberi wejangan. Tiba-tiba
salah seorang hadirin menangis tersedu-sedu. Al-Hasan berkata kepadanya: “Demi
Allah, pada Hari Kiamat Allah akan menanyakan apa tujuan anda menangis pada
saat ini!”
Salaf dan Taubat
Setiap Bani Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah
adalah yang segera bertaubat kepada Allah. Demikianlah yang disebutkan
Rasulullah dalam sebuah hadits shahih. Generasi salaf adalah orang yang terdepan
dalam masalah ini!
`Aisyah berkata: “Beruntunglah bagi orang yang buku catatan amalnya banyak
diisi dengan istighfar.” Al-Hasan Al-Bashri pernah berpesan: “ Perbanyaklah
istighfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar dan
dalam majelis-majelis kalian dan dimana saja kalian berada! Karena kalian tidak
tahu kapan turunnya ampunan!”
Tangis Generasi Salaf
Generasi salaf adalah generasi yang memiliki hati yang amat lembut.
Sehingga hati mereka mudah tergugah dan menangis karena takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta`ala. Terlebih tatkala membaca ayat-ayat suci Al-Qur`an.
Ketika membaca firman Allah: “Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu.” (QS. Al-Ahzab : 33) `Aisyah menangis
tersedu-sedu hingga basahlah pakaiannya.
Demikian pula Ibnu Umar , ketika membaca ayat yang artinya: “Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).”
(QS. Al-Hadid : 16) Beliau menangis hingga tiada kuasa menahan tangisnya.
Ketika beliau membaca surat Al-Muthaffifin setelah sampai pada ayat yang
artinya: “Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia
berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (QS. Al-Muthaffifiin :
5-6) Beliau menangis dan bertambah keras tangis beliau sehingga tidak
mampu meneruskan bacaannya.
Salaf dan Tawadhu`
Pernah disebut-sebut tentang tawadhu` di hadapan Al-Hasan Al-Bashri, namun
beliau diam saja. Ketika orang-orang mendesaknya berbicara ia berkata kepada
mereka: “Saya lihat kalian banyak bercerita tentang tawadhu`!” Mereka berkata:
“Apa itu tawadhu` wahai Abu Sa`id?” Beliau menjawab: “Yaitu setiap kali ia
keluar rumah dan bertemu seorang muslim ia selalu menyangka bahwa orang itu
lebih baik daripada dirinya.”
Ibnul Mubarak pernah ditanya tentang sebuah masalah di hadapan Sufyan bin
Uyainah, ia berkata: “Kami dilarang berbicara di hadapan orang-orang yang lebih
senior dari kami.”
Al-Fudhail bin Iyadh pernah ditanya: “Apa itu tawadhu`?” Ia menjawab: “Yaitu engkau tunduk kepada kebenaran!”
Al-Fudhail bin Iyadh pernah ditanya: “Apa itu tawadhu`?” Ia menjawab: “Yaitu engkau tunduk kepada kebenaran!”
Mutharrif bin Abdillah berkata: “Tidak ada seorangpun yang memujiku
kecuali diriku merasa semakin kecil.”
Salaf dan Sifat Santun
Pada suatu malam yang gelap Umar bin Abdul Aziz memasuki masjid. Ia
melewati seorang lelaki yang tengah tidur nyenyak. Lelaki itu terbangun dan
berkata: “Apakah engkau gila!” Umar menjawab: “Tidak “ Namun para pengawal
berusaha meringkus lelaki itu. Namun Umar bin Abdul Aziz mencegah mereka seraya
berkata: “Dia hanya bertanya: Apakah engkau gila! dan saya jawab: Tidak.”
Seorang lelaki melapor kepada Wahab bin Munabbih: “Sesungguhnya Fulan
telah mencaci engkau!” Ia menjawab: “Kelihatannya setan tidak menemukan kurir
selain engkau!”
Salaf dan Sifat Zuhud
Yusuf bin Asbath pernah mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Aku tidak
pernah melihat kezuhudan yang lebih sulit daripada kezuhudan terhadap
kekuasaan. Kita banyak menemui orang-orang yang zuhud dalam masalah makanan,
minuman, harta dan pakaian. Namun ketika diberikan kekuasaan kepadanya maka
iapun akan mempertahankan dan berani bermusuhan demi membelanya.”
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seribu
dinar apakah termasuk zuhud? Beliau menjawab:” Bisa saja, asalkan ia tidak
terlalu gembira bila bertambah dan tidak terlalu bersedih jika berkurang.”